Benar kata novelis Amerika, Nathaniel Hawthorne (1804-1864 M): “Time flies over us, but leaveas its shadow behind—waktu melayang di atas kita, tapi meninggalkan bayang-bayangnya di belakang.”
Begitu cepat, 16 tahun telah berlalu. Tragedi WTC meninggalkan banyak bekas di dunia, salah satunya perdebatan sengit sekitar Clash of Civilizations
yang ditulis Samuel P. Huntington (1927-2008 M). Sebagai respon atas
tesis Huntington, Edward W. Said (1935-2003 M) menulis artikel, “The Clash of Ignorance” (Benturan Kebodohan) pada tahun 2001.
Said
sangat kritis terhadap Huntington karena mempresentasikan konsep
peradaban dan identitas sebagai entitas tertutup yang tidak berubah dan
homogen. Menurut Said konsep peradaban dan identitas itu terbuka untuk
pertukaran, fertilisasi silang dan berbagi. (Edward Said, The Clash of Ignorance, 22 Oktober 2001).
Said juga mengkritik keras penggunaan bahasa di berbagai media Amerika dan Eropa yang membangkitkan ikatan emosi kuat atas west (Barat), yang kemudian membentuk gagasan “Us” (kita, Barat) versus “Them” (mereka, Islam).
Gagasan
ini, menurutnya, seperti upaya untuk melogiskan realitas dunia yang
kacau.Baginya, lebih baik kita berpikir mengenai komunitas yang kuat dan
tidak berdaya; politik sekular yang berbudi dan bodoh; prinsip
universal tentang keadilan dan ketidak-adilan, daripada mencari
abstraksi yang mungkin memberi kepuasaan sesaat tapi tidak teranalisis
dengan baik (Edward Said, 2001).
Bekas lainnya
adalah, aksi militer Amerika terhadap Afghanistan, kemudian Irak.
Menciptakan kekacauan sipil di Timur Tengah, perang sekte antara
Sunni-Syiah, bom bunuh diri setiap hari, terbentuknya ISIS/ISIL, sampai
terjadinya peristiwa besar Arab Spring yang merubah wajah sosial-politik
negara-negara Timur Tengah.
Krisis kemanusiaan akibat perang saudara mengakibatkan membludaknya pengungsi. Menurut data UNHCR (The UN Refugee Agency),
tercatat 6 September 2017, jumlah pengungsi yang terdafatar +5.164.020
orang, terbagi di berbagai negara, belum termasuk yang meninggal.
Di
Indonesia sendiri, satu tahun, satu bulan, satu hari setelah tragedi
WTC, tepatnya pada tanggal12 Oktober 2002, terjadi Bom Bali. Aksi
terorisme terparah dalam sejarah Indonesia. Memakan banyak korban, lebih
dari 200 orang. Disusul Bom Bali II pada tahun 2005. Jumlah korbannya
tidak sebanyak Bom Bali I, sekitar 20 orang. Dilanjutkan dengan banyak
aksi teror lainnya, yang terbaru adalah bom panci di Bandung.
Efek
lainnya adalah meningkatnya islamophobia di masyarakat dunia, khususnya
di Barat. Buku-buku tentang kebrutalan Islam sebagai agama beredar
luas, dengan varian judul yang beragam. Beberapa yang pernah saya buka
adalah The Truth about Muhammad:
Founder of the World’s MostIntolerant Religion tulisan Robert Spencer
dan The Suicide of Reason: Radical Islam’s Threat to the West tulisan Lee Harris.
Di
sisi lain, tidak sedikit penulis Barat yang bersimpati dengan Islam,
atau para akademisi yang berada di posisi netral, memandang Islam secara
objektif. Mereka menulis hasil penelitiannya tentang Islam
danmeluruskan miskonsepsi masyarakat Barat tentang Islam, salah satunya
adalah The Fear of Islam: An Introduction to Islamophobia in the Westyang ditulis oleh Todd. H. Green.
Apa
yang saya kemukakan di atas sekedar kilas balik, sebuah pandangan
kembali untuk mengingatkan bahwa radikalisme Islam masih ada di sekitar
kita. Jauh dari kata selesai atau hilang. Setiap tahun, bahkan setiap
bulan aksi teror mengatasnamakan agama terjadi di mana-mana, khususnya
di negara berpunduduk mayoritas non-Muslim.Di Indonesia sendiri,
ujaran-ujaran kebencian (hate speech) menjelma menjadi tradisi baru. Situasi yang angat asing sebelumnya.
Untuk
mengatasi radikalisme, tidak sedikit orang Barat yang memandang tasawuf
atau sufisme bisa menjadi penawar efektif, seperti tulisan Philip
Jenkins, ‘Mystical Power: Why Sufi
Muslims, for Centuries the Most Ferocious Soldiers of Islam, Could be
Our Most Valuable Allies in the Fight againts Extremism (2009), meski tetap diberikan catatan kritis oleh Jenkins.
Menurutnya,
akan berlebihan jika mengatakan sufisme dapat menyelesaikan
kompleksitas masalah yang memisahkan Barat dan Dunia Islam. Akan tetapi,
menghidupkan kembali tradisi sufi di banyak negeri, memberikan benteng
efektif melawan terorisme, lebih kuat dari pendekatan militer (Philip
Jenkins, Mystical Power, 2009).
Ditambah
populeritas tasawufyang luar biasa di Barat. Buku-buku puisi Maulana
Rumi sangat laris di pasaran, terjual jutaan eksemplar. Fenomena yang
jarang terjadi untuk buku puisi. Fenomena ini secara eksklusif dibahas
oleh BBC (edisi 21 Oktober 2014) dengan judul artikel, “Why is Rumi the best-selling poet in the US?” Karenanya, pendekatan tasawuf dapat menjadi sarana dialog yang efektif dan pendekatan yang menarik untuk dicoba.
Di
Maroko, dikutip dari Washington Institute (11 Maret 2015), setelah
tragedi WTC dan serangan teroris di Casablanca dua tahun kemudian, Raja
Muhammad IV menerapkan kontrol regulasi ketat atas wilayah agama,
menghilangkan unsur wahabi di buku pelajaran dan mempromosikan sufisme,
sebagai counter terhadap radikalisme.
Sufisme,
saya kira, bisa menjadi rujukan penting mengatasi hal ini. Keseimbangan
esoteris dan eksoteris berperan besar atas cara pandang
seseorang.Sufisme bukan salah satu sekte dalam Islam, melainkan aspek
atau dimensi dari Islam. Bermula dari penjernihan hati secara intensif,
menuju cinta Ilahi (divine love).
Mengendalikan kebencian dan mengedepankan kasih sayang. Rabi’ah al-Adawiyyah (w. 801 M) pernah ditanya: “Hal tukihîn al-syaithân?—apakah kau membenci setan?” Ia menjawab: “Inna hubbî lillahi qad mana’anî min al-istighâl bi karâhiyah al-syaithân—sungguh cintaku kepada Allah mencegahku bersibuk diri membenci setan.”
Setan dalam hal ini adalah perlambang. Walaupun setan adalah makhluk dengan predikat al-rajîm
(terkutuk), Rabi’ah al-‘Adawiyyah tidak membencinya, tapi tidak juga
mengikuti godaannya. Karena cinta kepada Tuhan tidak mungkin bersanding
rata dengan kebencian kepada makhluk.
Selain
tasawuf, pendidikan agama yang terarah juga diperlukan. Kita,
barangkali, tidak akan mampu mengembalikan orang-orang yang telah
terjangkit virus radikal. Tapi, paling tidak kita mampu menciptakan
generasi Islam ramah seperti yang diajarkan Rasulullah, serta
menghindarkan orang awam masuk ke dalamnya. Pondok pesantren dan
madrasah diniyah selama ini telah cukup berhasil mengemban tugas ini.
Saya
kira sudah waktunya sekolah umum mengambil langkah ke arah itu.
Deradikalisasi harus dimulai dari bawah. Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai kerangka dasar kebhinekaan harus diperkuat. Dengan cara
membawanya ke ranah praksis.Ada proses ‘mengalami’ keragaman dalam
tujuan yang sama, bhineka tunggal ika. Tidak sekedar pelajaran “mati”
yang selalu tertinggal di sekolah ketika ‘bell’ berbunyi.
sumber : NUOnline
sumber : NUOnline
Komentar
Posting Komentar